Persiku News - Pecinta sepak bola nasional dibuat kebingungan dengan kebijakan-kebijakan PSSI yang justru memporak-porandakan format kompetisi untuk musim ini.
Dengan alasan meningkatkan profesionalisme kompetisi, mengurangi pengeluaran klub yang tak lagi diperbolehkan menggunakan dana APBD serta menyelematkan jatah Indonesia untuk mengirimkan wakilnya ke kompetisi antarklub elit Asia, Liga Champions, PSSI merombak format kompetisi kasta tertinggi, Liga Super.
Anehnya, ide Ketua Komite Kompetisi Sihar Sitorus dengan format dua wilayah dan 32 peserta, justru bertentangan dengan pedoman standar internasional kompetisi keluaran FIFA dan AFC, yang mewajibkan format satu wilayah dengan jumlah peserta maksimal 20 klub.
Sekitar sebulan berselang, lewat rapat Komite Eksekutif tanggal 16 September, ketua umum PSSI Djohar Arifin Husin mengatakan format kompetisi akan sesuai dengan statuta, ini artinya kembali ke bentuk awal dengan format satu wilayah dan 18 klub peserta. Aplaus sempat diberikan untuk sang ketua umum.
Tetapi hanya dalam hitungan hari, format kompetisi kembali berubah. Kali ini tetap satu wilayah, hanya saja pesertanya membengkak menjadi 24 klub. Kritikan kembali menghujani badan sepak bola nasional ini. Alasan-alasan yang diungkapkan di atas mentah oleh kebijakan mereka sendiri.
Bagaimana kompetisi bisa profesional, jika PSSI memaksakan enam klub untuk mengikuti kasta teratas dengan alasan yang tidak profesional? Persibo Bojonegoro, Persema Malang dan PSM Makassar adalah klub yang musim lalu membelot ke liga ilegal, Liga Primer Indonesia (LPI), bukannya mendapat hukuman, PSSI justru menghadiahi mereka tiket gratis dengan alasan bersimpati atas perjuangan mereka.
PSMS Medan dan Persebaya Surabaya diloloskan dengan alasan titipan sponsor karena kedua kota ini memiliki sejarah dan basis pendukung yang kuat. Sementara FC Bontang, yang musim lalu jelas terdegradasi, diangkat kembali. Alasan ketua umum adalah “mereka sering didzolimi oleh pengurus sebelumnya”.
Lalu bagaimana bisa mengurangi pengeluaran jika jumlah peserta bertambah dari musim lalu yang hanya 18 klub? Musim ini, setiap klub harus menjalani enam laga tandang lebih banyak. Biaya untuk akomodasi dan transportasi pun jelas membengkak.
Banyaknya pertandingan juga akan membuat jadwal kompetisi musim ini menjadi lebih panjang, bahkan ada kemungkinan kompetisi belum selesai disaat pendaftaran peserta Liga Champions Asia ditutup. Mengenai hal ini, Sihar menjawab enteng: “Ya, semua kan ada konsekuensinya.”
Berbelitnya penyusunan format kompetisi berakibat pada mundurnya jadwal pelaksanaan liga. PSSI akhirnya memutuskan liga dimulai tanggal 15 Oktober, atau telat sehari dari tenggat waktu yang diberikan AFC untuk semua negara-negara di Asia.
Jadwal pertandingan juga masih belum diputuskan hingga sembilan hari menjelang liga dimulai, Komite Kompetisi masih menimbang-nimbang dua rancangan jadwal. “Kami harus mempelajarinya. Kami juga harus membahas ini dengan klub-klub,” ungkap wakil ketua Komite Kompetisi Toni Aprilani, Kamis (6/10/11).
PSSI bahkan sama sekali belum membahas mengenai Divisi Utama, kompetisi kasta kedua di bawah Liga Super. Sikap ini membuat bingung klub-klub penghuninya.
Sekretaris umum Persik Kediri, salah satu klub Divisi Utama, menjelaskan klubnya menghentikan kegiatan latihan karena tidak tega menggantung nasib pemain.
"Betul apa yang dibilang mas Jaya (Hartono, pelatih Persik) bahwa, kita tidak bolah menggantung pemain. Ya kalau nanti kontraknya sesuai. Kalau tidak kan juga kasian. Memang sebaiknya para pemain disuruh untuk mencari klub baru. Mengingat jadwal kompetisi Divisi Utama juga belum jelas," ujarnya.
Hal seperti ini tidak akan terjadi andai PSSI tidak arogan merombak format kompetisi musim lalu yang sudah cukup mapan, tidak hanya sistem dalam setiap divisi, namun juga kesinambungan antardivisi.
Ini baru secuil dari kebijakan kontroversial PSSI tentang kompetisi. Masih ada kebijakan-kebijakan lain menyangkut penyelesaian dualisme kepengurusan di tubuh Persija Jakarta, Arema Indonesia dan Persebaya Surabaya, yang membuat PSSI dicemooh pendukung fanatik klub-klub tersebut.
Belum lagi kebijakan PSSI yang justru menganggap Persema, Persibo dan PSM yang membelot sebagai pahlawan. Pantas jika kemudian insan sepak bola nasional bertanya-tanya, “Mau dibawa kemana, sepak bola kita?”
Dengan alasan meningkatkan profesionalisme kompetisi, mengurangi pengeluaran klub yang tak lagi diperbolehkan menggunakan dana APBD serta menyelematkan jatah Indonesia untuk mengirimkan wakilnya ke kompetisi antarklub elit Asia, Liga Champions, PSSI merombak format kompetisi kasta tertinggi, Liga Super.
Anehnya, ide Ketua Komite Kompetisi Sihar Sitorus dengan format dua wilayah dan 32 peserta, justru bertentangan dengan pedoman standar internasional kompetisi keluaran FIFA dan AFC, yang mewajibkan format satu wilayah dengan jumlah peserta maksimal 20 klub.
Sekitar sebulan berselang, lewat rapat Komite Eksekutif tanggal 16 September, ketua umum PSSI Djohar Arifin Husin mengatakan format kompetisi akan sesuai dengan statuta, ini artinya kembali ke bentuk awal dengan format satu wilayah dan 18 klub peserta. Aplaus sempat diberikan untuk sang ketua umum.
Tetapi hanya dalam hitungan hari, format kompetisi kembali berubah. Kali ini tetap satu wilayah, hanya saja pesertanya membengkak menjadi 24 klub. Kritikan kembali menghujani badan sepak bola nasional ini. Alasan-alasan yang diungkapkan di atas mentah oleh kebijakan mereka sendiri.
Bagaimana kompetisi bisa profesional, jika PSSI memaksakan enam klub untuk mengikuti kasta teratas dengan alasan yang tidak profesional? Persibo Bojonegoro, Persema Malang dan PSM Makassar adalah klub yang musim lalu membelot ke liga ilegal, Liga Primer Indonesia (LPI), bukannya mendapat hukuman, PSSI justru menghadiahi mereka tiket gratis dengan alasan bersimpati atas perjuangan mereka.
PSMS Medan dan Persebaya Surabaya diloloskan dengan alasan titipan sponsor karena kedua kota ini memiliki sejarah dan basis pendukung yang kuat. Sementara FC Bontang, yang musim lalu jelas terdegradasi, diangkat kembali. Alasan ketua umum adalah “mereka sering didzolimi oleh pengurus sebelumnya”.
Lalu bagaimana bisa mengurangi pengeluaran jika jumlah peserta bertambah dari musim lalu yang hanya 18 klub? Musim ini, setiap klub harus menjalani enam laga tandang lebih banyak. Biaya untuk akomodasi dan transportasi pun jelas membengkak.
Banyaknya pertandingan juga akan membuat jadwal kompetisi musim ini menjadi lebih panjang, bahkan ada kemungkinan kompetisi belum selesai disaat pendaftaran peserta Liga Champions Asia ditutup. Mengenai hal ini, Sihar menjawab enteng: “Ya, semua kan ada konsekuensinya.”
Berbelitnya penyusunan format kompetisi berakibat pada mundurnya jadwal pelaksanaan liga. PSSI akhirnya memutuskan liga dimulai tanggal 15 Oktober, atau telat sehari dari tenggat waktu yang diberikan AFC untuk semua negara-negara di Asia.
Jadwal pertandingan juga masih belum diputuskan hingga sembilan hari menjelang liga dimulai, Komite Kompetisi masih menimbang-nimbang dua rancangan jadwal. “Kami harus mempelajarinya. Kami juga harus membahas ini dengan klub-klub,” ungkap wakil ketua Komite Kompetisi Toni Aprilani, Kamis (6/10/11).
PSSI bahkan sama sekali belum membahas mengenai Divisi Utama, kompetisi kasta kedua di bawah Liga Super. Sikap ini membuat bingung klub-klub penghuninya.
Sekretaris umum Persik Kediri, salah satu klub Divisi Utama, menjelaskan klubnya menghentikan kegiatan latihan karena tidak tega menggantung nasib pemain.
"Betul apa yang dibilang mas Jaya (Hartono, pelatih Persik) bahwa, kita tidak bolah menggantung pemain. Ya kalau nanti kontraknya sesuai. Kalau tidak kan juga kasian. Memang sebaiknya para pemain disuruh untuk mencari klub baru. Mengingat jadwal kompetisi Divisi Utama juga belum jelas," ujarnya.
Hal seperti ini tidak akan terjadi andai PSSI tidak arogan merombak format kompetisi musim lalu yang sudah cukup mapan, tidak hanya sistem dalam setiap divisi, namun juga kesinambungan antardivisi.
Ini baru secuil dari kebijakan kontroversial PSSI tentang kompetisi. Masih ada kebijakan-kebijakan lain menyangkut penyelesaian dualisme kepengurusan di tubuh Persija Jakarta, Arema Indonesia dan Persebaya Surabaya, yang membuat PSSI dicemooh pendukung fanatik klub-klub tersebut.
Belum lagi kebijakan PSSI yang justru menganggap Persema, Persibo dan PSM yang membelot sebagai pahlawan. Pantas jika kemudian insan sepak bola nasional bertanya-tanya, “Mau dibawa kemana, sepak bola kita?”
(Inilah.com)
0 komentar:
Post a Comment
Petunjuk Berkomentar :
-> Pilih Name/URL
-> Isi dengan Nama anda
-> Kosongkan URLnya jika tidak punya
-> Atau isi URLnya dengan alamat FaceBook anda
-> Isi komentar anda
-> Lalu tekan Postkan Komentar